LAPORAN PENDAHULUAN
LAPORAN PENDAHULUAN
DENGUE HAEMORAGIC FEVER (DHF)
OLEH
NI WAYAN SINTA APRILLIA
NIM : 209012608
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
TAHUN 2021
DENGUE HAEMORAGIC FEVER (DHF)
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
1.
Pengertian
Demam
dengue atau DF dan demam berdarah dengue atau DBD (dengue
hemorrhagic fever disingkat DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
ditesis hemoragik. Pada DHF terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokosentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue yang ditandai oleh renjatan atau syok (Nurarif
& Kusuma, 2015).
Dengue
Hemorrhagic Fever
(DHF) adalah penyakit yang menyerang anak dan orang dewasa yang disebabkan oleh
virus dengan manifestasi berupa demam akut, perdarahan, nyeri otot dan sendi. Dengue
adalah suatu infeksi Arbovirus (Artropod Born Virus) yang akut
ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti atau oleh Aedes Aebopictus
(Wijayaningsih, 2013).
Dengue
Hemorrhagic Fever
(DHF) menular melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. DHF merupakan
penyakit berbasis vektor yang menjadi penyebab kematian utama di banyak negara
tropis. Penyakit DHF bersifat endemis, sering menyerang masyarakat dalam
bentuk wabah dan disertai dengan angka kematian yang cukup tinggi, khususnya
pada mereka yang berusia dibawah 15 tahun (Harmawan, 2017).
2. Klasifikasi
Menurut
WHO, DHF dibagi dalam 4 derajat yaitu (Nurarif & Kusuma, 2015) :
a. Derajat I yaitu demam disertai gejala
klinik khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan dalam uji tourniquet
positif, trombositopenia, himokonsentrasi.
b. Derajat II yaitu seperti derajat I,
disertai dengan perdarahan spontan pada kulit atau perdarahan di tempat lain.
c. Derajat III yaitu ditemukannya
kegagalan sirkulasi, ditandai oleh nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun
(20 mmHg atau kurang) atau hipotensi disertai dengan sianosis disekitar mulut,
kulit dingin dan lembab dan anak tampak gelisah.
d.
Derajat
IV yaitu syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak teratur.
3.
Etiologi
Menurut Soedarto (2012), Demam Haemorrhagic Fever (DHF) disebabkan
oleh :
a. Virus Dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus
(Artropod Born Virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe
1,2,3 dan 4, keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan
dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis virus dengue
yang termasuk dalam gen flavirus ini berdiameter 40 nonometer dapat berkembang
biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel-sel
mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kiney) maupun sel-sel Arthropoda
misalnya sel aedes Albopictuus.
b.
Vektor.
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui
vektor yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes
polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan.
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe
jenis yang lainnya.
4.
Patofisiologi
Virus dengue
yang telah masuk ke tubuh penderita akan menimbulkan viremia. Hal tersebut akan
menimbulkan reaksi oleh pusat pengatur suhu di hipotalamus sehingga menyebabkan
(pelepasan zat bradikinin, serotinin, trombin, histamin) terjadinya:
peningkatan suhu. Selain itu viremia menyebabkan pelebaran pada dinding pembuluh
darah yang menyebabkan perpindahan cairan dan plasma dari intravascular ke
intersisiel yang menyebabkan hipovolemia. Trombositopenia dapat terjadi akibat
dari penurunan produksi trombosit sebagai reaksi dari antibodi melawan virus
(Murwani, 2018).
Pada pasien
dengan trombositopenia terdapat adanya perdarahan baik kulit seperti petekia
atau perdarahan mukosa di mulut. Hal ini mengakibatkan adanya kehilangan
kemampuan tubuh untuk melakukan mekanisme hemostatis secara normal. Hal
tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan jika tidak tertangani maka akan
menimbulkan syok. Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8
hari. Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Pertama-tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami
demam, sakit kepala, mual, nyeri otot pegal pegal di seluruh tubuh, ruam atau
bintik bintik merah pada kulit, hiperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin
terjadi pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati atau hepatomegali (Murwani,
2018).
Kemudian
virus bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus antibodi. Dalam
sirkulasi dan akan mengativasi sistem komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan
di lepas C3a dan C5a dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan
mediator kuat sebagai faktor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya pembesaran plasma ke ruang
ekstraseluler. Pembesaran plasma ke ruang eksta seluler mengakibatkan
kekurangan volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemia serta efusi dan renjatan atau syok. Hemokonsentrasi atau peningkatan
hematokrit >20% menunjukan atau menggambarkan adanya kebocoran atau
perembesan sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian
cairan intravena (Murwani, 2018).
Adanya
kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukan cairan
yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura, dan
perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui
infus. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit
menunjukan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena
harus di kurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadi edema paru dan
gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapat cairan yang cukup, penderita akan
mengalami kekurangan cairan yang akan mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan
bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan
timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera
diatasi dengan baik (Murwani, 2018).
5.
Manifestasi
Klinis
Manifestasi
klinis pada penderita DHF antara lain adalah (Nurarif & Kusuma 2015) :
a. Demam dengue
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau
lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
1)
Nyeri
kepala
2)
Nyeri
retro-orbital
3)
Myalgia
atau arthralgia
4)
Ruam
kulit
5)
Manifestasi
perdarahan seperti petekie atau uji bending positif
6)
Leukopenia
7)
Pemeriksaan
serologi dengue positif atau ditemukan DD/DBD yang sudah di konfirmasi pada
lokasi dan waktu yang sama
b. Demam berdarah dengue
Berdasarkan kriteria WHO (2011) diagnosis DHF ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi :
1)
Demam
atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bersifat bifastik
2)
Manifestasi
perdarahan yang berupa :
a) Uji tourniquet positif
b) Petekie, ekimosis, atau purpura
c) Perdarahan mukosa (epistaksis,
perdarahan gusi), saluran cerna, tempat bekas suntikan
d) Hematemesis atau melena
3)
Trombositopenia
<100.00/ul
4)
Kebocoran
plasma yang ditandai dengan :
a) Peningkatan nilai hematokrit > 20%
dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin
b) Penurunan nilai hematokrit > 20%
setelah pemberian cairan yang adekuat
5)
Tanda
kebocoran plasma seperti : hipoproteinemi, asites, efusi pleura
c.
Sindrom
syok dengue
Seluruh kriteria DHF diatas disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi
yaitu:
1)
Penurunan
kesadaran, gelisah
2)
Nadi
cepat, lemah
3)
Hipotensi
4)
Tekanan
darah turun < 20 mmHg
5)
Perfusi
perifer menurun
6)
Kulit
dingin lembab
6.
Pemeriksaan
Penunjang/ Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang mungkin dilakukan pada penderita DHF antara
lain adalah (Wijayaningsih, 2013) :
a.
Pemeriksaan
darah lengkap
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai
pada DHF merupakan indikator terjadinya perembesan plasma.
1)
Pada
demam dengue terdapat leukopenia pada hari kedua atau hari ketiga.
2)
Pada
demam berdarah terdapat trombositopenia dan hemokonsentrasi.
3)
Pada
pemeriksaan kimia darah: hipoproteinemia, hipokloremia, SGPT, SGOT, ureum dan pH
darah mungkin meningkat.
b.
Uji
Serologi = Uji HI (Hemaglutination Inhibition Test)
Uji serologi didasarkan atas timbulnya antibody pada penderita yang
terjadi setelah infeksi. Untuk menentukan kadar antibody atau antigen didasarkan
pada manifestasi reaksi antigen-antibody. Ada tiga kategori, yaitu primer,
sekunder, dan tersier. Reaksi primer merupakan reaksi tahap awal yang dapat
berlanjut menjadi reaksi sekunder atau tersier. Yang mana tidak dapat dilihat
dan berlangsung sangat cepat, visualisasi biasanya dilakukan dengan memberi
label antibody atau antigen dengan flouresens, radioaktif, atau enzimatik.
Reaksi sekunder merupakan lanjutan dari reaksi primer dengan manifestasi yang
dapat dilihat secara in vitro seperti prestipitasi, flokulasi, dan aglutinasi.
Reaksi tersier merupakan lanjutan reaksi sekunder dengan bentuk lain yang
bermanifestasi dengan gejala klinik.
c.
Uji
hambatan hemaglutinasi
Prinsip metode ini adalah mengukur campuran titer IgM dan IgG berdasarkan
pada kemampuan antibody-dengue yang dapat menghambat reaksi
hemaglutinasi darah angsa oleh virus dengue yang disebut reaksi
hemaglutinasi inhibitor (HI).
d.
Uji
netralisasi (Neutralisasi Test = NT test)
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Menggunakan metode plague reduction neutralization test (PRNT). Plaque
adalah daerah tempat virus menginfeksi sel dan batas yang jelas akan dilihat
terhadap sel di sekitar yang tidak terkena infeksi.
e.
Uji
ELISA anti dengue
Uji ini mempunyai sensitivitas sama dengan uji Hemaglutination
Inhibition (HI). Dan bahkan lebih sensitive dari pada uji HI. Prinsip dari
metode ini adalah mendeteksi adanya antibody IgM dan IgG di dalam serum
penderita.
f. Rontgen Thorax : pada foto thorax
(pada DHF grade III/ IV dan sebagian besar grade II) didapatkan efusi pleura.
7.
Penatalaksanaan
Medis
Dasar
pelaksanaan penderita DHF adalah pengganti cairan yang hilang sebagai akibat
dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas
sehingga mengakibatkan kebocoran plasma. Selain itu, perlu juga diberikan obat
penurun panas (Rampengan & Laurentz, 2007). Penatalaksanaan DHF yaitu :
a.
Penatalaksanaan
Demam Berdarah Dengue Tanpa Syok
Penatalaksanaan disesuaikan dengan gambaran klinis maupun fase, dan untuk
diagnosis DHF pada derajat I dan II menunjukkan bahwa anak mengalami DHF tanpa
syok sedangkan pada derajat III dan derajat IV maka anak mengalami DHF disertai
dengan syok. Tatalaksana untuk anak yang dirawat di rumah sakit meliputi:
1) Berikan anak banyak minum larutan
oralit atau jus buah, air sirup, susu untuk mengganti cairan yang hilang akibat
kebocoran plasma, demam, muntah, dan diare.
2) Berikan parasetamol bila demam,
jangan berikan asetosal atau ibuprofen karena dapat merangsang terjadinya
perdarahan.
3) Berikan infus sesuai dengan dehidrasi
sedang:
a)
Berikan
hanya larutan isotonik seperti ringer laktat atau asetat.
b)
Pantau
tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium (hematokrit,
trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam.
c)
Apabila
terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah cairan secara
bertahap sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya hanya memerlukan
waktu 24-48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler spontan setelah pemberian
cairan.
d)
Apabila
terjadi perburukan klinis maka berikan tatalaksana sesuai dengan tatalaksana
syok terkompensasi.
b.Penatalaksanaan Dengue Hemorrhagic
Fever Dengan Syok
Penatalaksanaan DHF menurut WHO (2011), meliputi:
1)
Perlakukan
sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secara nasal.
2)
Berikan
20 ml/kg larutan kristaloid seperti ringer laktat/asetan secepatnya.
3)
Jika
tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB
secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20 ml/kg
BB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
4)
Jika
tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi: berikan transfusi darah atau
komponen.
5)
Jika
terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai membaik,
tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10 ml/kgBB dalam 2-4 jam
dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis laboratorium.
6)
Dalam
banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36- 48 jam. Perlu
diingat banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu banyak
dari pada pemberian yang terlalu sedikit.
8.
Komplikasi
Komplikasi
yang terjadi pada anak yang mengalami demam berdarah dengue yaitu
perdarahan massif dan dengue shock syndrome (DSS) atau sindrom syok dengue
(SSD). Syok sering terjadi pada anak berusia kurang dari 10 tahun. Syok
ditandai dengan nadi yang lemah dan cepat sampai tidak teraba, tekanan nadi
menurun menjadi 20 mmHg atau sampai nol, tekanan darah menurun dibawah 80 mmHg
atau sampai nol, terjadi penurunan kesadaran, sianosis di sekitar mulut dan
kulit ujung jari, hidung, telinga, dan kaki teraba dingin dan lembab, pucat dan
oliguria atau anuria (Pangaribuan,
|
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
Dalam
melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal yang
penting dilakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit maupun selama
pasien dirawat di rumah sakit (Widyorini, dkk., 2017).
a.
Identitas
Pasien
Nama, umur (pada DHF paling sering menyerang anak-anak dengan usia kurang
dari 15 tahun), jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang tua, pendidikan
orang tua, dan pekerjaan orang tua.
b.
Keluhan
Utama
Alasan/keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang ke rumah sakit
adalah panas tinggi dan anak lemah.
c.
Riwayat
Penyakit Sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil dan saat
demam kesadaran composmentis. Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 sampai
ke-7, dan anak semakin lemah. Kadang-kadang disertai dengan keluhan batuk,
pilek, nyeri telan, mual, muntah, anoreksia, diare/konstipasi, sakit kepala,
nyeri otot dan persendian, nyeri ulu hati dan pergerakan bola mata terasa
pegal, serta adanya manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV), melena
atau hematesis.
d.
Riwayat
Penyakit Dahulu
Penyakit apa saja yang pernah diderita pada DHF, anak bisa mengalami
serangan ulangan DHF dengan tipe virus yang lain.
e.
Riwayat
Penyakit Keluarga
Penyakit apa saja yang pernah diderita sama keluarga klien
f.
Riwayat
Imunisasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan akan
timbulnya komplikasi dapat dihindari.
g.
Riwayat
Gizi
Status gizi anak menderita DHF dapat bervariasi. Semua anak dengan status
gizi baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat faktor predisposisinya.
Anak yang menderita DHF sering mengalami keluhan mual, muntah, dan nafsu makan
menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhan
nutrisi yang mencukupi, maka anak akan mengalami penurunan berat badan sehingga
status gizinya menjadi kurang.
h.
Kondisi
Lingkungan
Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang
kurang bersih (seperti air yang mengenang dan gantungan baju di kamar).
i.
Pengkajian
Pola Gordon
1)
Pola
persepsi dan manajemen kesehatan
Klien biasanya tidak mengetahui penyakitnya, klien hanya beranggapan
bahwa gejala yang dideritanya merupakan gejala biasa saja dan hanya kelelahan
biasa. Klien mulanya hanya beristirahat, mengurangi aktifitas dan mengkonsumsi
obat bebas yang ada duwarung.
2)
Pola
nutrisi metabolic
Terjadinya ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan ditandai
dengan timbul gejala mual, muntah, dyspnea, anoreksia dan penurunan berat badan
3)
Pola
eliminasi
Pada pola ini biasanya bisa terjadi retrensi urine
4)
Pola
aktivitas dan latihan
Klien biasanya mengalami kelemahan, keletihan sehingga menyebabkan
terganggunya aktivitas klien, terjadi penurunan semangat untuk bekerja serta
toleransi untuk latihan rendah
5)
Pola
istirahat dan tidur
Klien biasanya akan mengalami gangguan tidur karena biasanya mual muntah
6)
Pola
kognitif perseptual
Pengkajian yang dilakukan yaitu sehubungan dengan fungsi alat indera
klien, karenan terjadi penurunan fungsi penglihatan dan neuropati
7)
Pola
persepsi diri dan konsep diri
Persepsi klien terhadap dirinya bisa berubah sehubungan dengan penyakit
dengan penyakit yang diderita. Klien merasa lemah karena tidak bisa bekerja dan
beraktifitas seperti orang lain.
8)
Pola
peran hubungan
Pada pola ini dikaji pekerjaan klien, peran klien dalam keluarga dan
masyarakat. Selain itu berisikan bagaimanahubungan klien dengan orang
terdekatnya, bagaimana pengambilan keputusan dan hubungan klien dengan
masyarakat atau lingkungan social klien.
9)
Pola
reproduksi seksualita
Pada reproduksi seksual bisa terjadi perubahan aliran menstruasi,
misalnya menoragia atau amenore, hilang libido dan impoten. Servik dan dinding
vagina pusat.
10) Pola koping dan toleransi stress
Metode koping yang digunakan klien dalam mengatasi stress bisa saja
dengan mengungkapkan perasaan gelisahnya kepada orang terdekat atau perawat
atau meminum obat yang bisa menghilangkan stress.
11) Pola nilai dan kayakinan
Setelah mengkaji didapatkan kepercayaan klien, kepatuhan klien dalam
melaksanakan ibadah, dan keyakinan-keyakinan pribadi yang bisa mempengaruhi
pilihan pengobatan.
j.
Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan fisik Meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi
dari ujung rambut sampai jung kaki. Pemeriksaan fisik secara umum:
1) Grade I : kesadaran composmentis,
keadaan umum lemah, tanda-tanda vital dan nadi lemah.
Grade II : kesadaran composmentis, keadaan umum lemah, ada perdarahan
spontan petekia, perdarahan gusi dan telinga, serta nadi lemah, kecil, dan
tidak teratur.
Grade III : Kesadaran apatis, somnolen, keadaan umum lemah, nadi lemah,
kecil dan tidak teratur, serta tensi menurun.
Grade IV : Kesadaran koma, tanda-tanda vital nadi tidak teraba, tensi
tidak terukur, pernapasan tidak teratur, ekstremitas dingin, berkeringat, dan
kulit.
2) Tanda-tanda vital (TTV) : tekanan
nadi lemah dan kecil (grade III), nadi tidak teraba (grade IV), tekanan darah
menurun (sistolik menurun sampai 80mmHg atau kurang), suhu tinggi (diatas 37,5oC).
3)
Kepala
: kepala bersih, ada pembengkakan atau tidak, Kepala terasa nyeri, muka tampak
kemerahan karena demam.
4)
Mata
: konjungtiva anemis.
5)
Hidung
: hidung kadang mengalami perdarahan (epistaksis) pada grade II, III, IV.
6)
Telinga
: tidak ada perdarahan pada telinga, simetris, bersih tidak ada serumen, tidak
ada gangguan pendengaran.
7)
Mulut
: pada mulut didapatkan bahwa mukosa mulut kering, terjadi perdarahan gusi, dan
nyeri telan. Sementara tenggorokkan hyperemia pharing.
8)
Leher
: kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid tidak mengalami pembesaran.
9)
Dada
/ thorak
Inspeksi : Bentuk simetris, kadang-kadang tampak
sesak.
Palpasi : Biasanya fremitus kiri dan kanan tidak
sama.
Perkusi : Bunyi redup
karena terdapat adanya cairan yang tertimbun pada paru.
Auskultasi : Adanya bunyi
ronchi yang biasanya terdapat pada grade III, dan IV.
10) Abdomen
Inspeksi :
Abdomen tampak simetris dan adanya asites.
Auskultasi :
Adanya penurunan bising usus.
Palpasi :
Mengalami nyeri tekan, pembesaran hati (hepatomegali).
Perkusi : Terdengar redup.
11) Sistem Integument
Adanya petekia pada kulit spontan dan dengan melakukan uji tourniquet.
Turgor kuit menurun, dan muncul keringat dingin, dan lembab. Pemeriksaan uji
tourniket dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah anak.
Selanjutnya diberikan 24 tekanan antara sistolik dan diastolic pada alat ukur
yang dipasang pada tangan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, perhatikan
timbulnya petekie di bagian volarlenga bawah (Soedarmo, et al., 2008).
12)
Genitalia
: biasanya tidak ada masalah.
13)
Ekstremitas
: akral dingin, serta terjadi nyeri otot, sendi serta tulang. Pada kuku
sianosis/tidak.
14)
Pemeriksaan
Laboratorium
Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai :
a) Hb dan PCV meningkat (> dari 20
%).
b) Trobositopenia (< dari
100.000/ml).
c) Leucopenia (mungkin normal atau
lekositosis).
d) Ig. D dengue positif.
e) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan :
hipoproteinemia, hipokloremia, dan hiponatremia.
f) Urium dan pH darah mungkin meningkat.
g) Asidosis metabolik : pCO2< 35 – 40
mmHg dan HCO3 rendah.
h) SGOT / SGPT mungkin meningkat.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik berlangsung aktual
maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons
klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan. Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada kasus DHF yaitu (Erdin,
2018) (SDKI DPP PPNI, 2017) :
a. Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan hambatan upaya napas.
b. Hipertermia berhubungan dengan proses
penyakit ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai normal.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen
pencedera fisiologis ditandai dengan pasien mengeluh nyeri.
d. Defisit nutrisi berhubungan dengan
faktor psikologis (keengganan untuk makan).
e. Hipovolemia berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas kapiler ditandai dengan kebocoran plasma darah.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan.
g. Defisit pengetahuan berhubungan
dengan kurang terpapar informasi.
h. Ansietas berhubungan dengan krisis
situasional.
i.
Risiko
perdarahan ditandai dengan koagulasi (trombositopenia).
j.
Risiko
syok ditandai dengan kekurangan volume cairan.
3. Perencanaan
a. Prioritas Masalah
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan
hambatan upaya napas.
2) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai normal.
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisiologis ditandai dengan pasien
mengeluh nyeri.
4) Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor
psikologis (keengganan untuk makan).
5) Hipovolemia berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler ditandai dengan kebocoran plasma darah.
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan.
7) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang
terpapar informasi.
8) Ansietas berhubungan dengan krisis
situasional.
9) Risiko perdarahan ditandai dengan koagulasi
(trombositopenia).
10) Risiko syok ditandai dengan
kekurangan volume cairan.
b. Rencana Perawatan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
luaran (outcome) yang diharapkan (SIKI DPP PPNI, 2018) (SLKI DPP PPNI, 2019).
1) Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan hambatan upaya napas
Tujuan : Mempertahankan pola
pernafasan normal/efektif.
Kriteria Hasil :
a) Kapasitas vital meningkat.
b) Dispneu menurun.
c) Frekuensi napas membaik.
Intervensi :
Observasi
a) Monitor pola napas (frekuensi, usaha
napas).
Rasional : Mengetahui tanda dan gejala awal pola nafas tidak efektif
b) Monitor bunyi napas tambahan (mis,
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi basah).
Rasional : Mengetahui adanya sumbatan pada jalan nafas dan perkembangan
status kesehatan pasien
c) Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma).
Rasional : Mengetahui produksi sputum yang dihasilkan dan untuk
menegakkan diagnose.
Terapeutik
a)
Posisikan
semi fowler atau fowler.
Rasional : Memberikan posisi yang nyaman untuk pasien, mengurangi sesak
nafas.
b)
Berikan
minum hangat.
Rasional : Membantu mengencerkan produksi sputum.
c)
Berikan
oksigen, jika perlu.
Rasional : Memberikan tambahan oksigen dan mengurangi perburukan keadaan.
Edukasi
a) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
Rasional : Mencukupi jumlah kebutuhan cairan klien untuk mencegah
dehidrasi
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
Rasional : . Mengencerkan sputum sehingga melancarkan saluran pernafasan.
2)
Hipertermia
berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Suhu tubuh agar tetap berada pada rentang normal Kriteria Hasil
:
a) Menggigil menurun.
b) Kulit merah menurun.
c) Suhu tubuh membaik.
d) Tekanan darah membaik.
Intervensi :
Observasi
a) Identifikasi penyebab hipertermia
(mis. dehidrasi, terpapar lingkungan panas, penggunaan incubator).
Rasional : Untuk mengetahui penyebab hipertermi.
b) Monitor suhu tubuh.
Rasional : Untuk memantau keadaan suhu tubuh pasien.
c) Monitor kadar elektrolit.
Rasional : Elektrolit sebagai indikator keadaan status cairan dalam
tubuh.
d) Monitor haluaran urine.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan dan tingkatan dehidrasi.
Terapeutik
a) Sediakan lingkungan yang dingin.
Rasional : Irigasi pendingin dan pemajanan permukaan kulit ke udara mungkin
dibutuhkan untuk menurunkan suhu.
b) Longgarkan atau lepaskan pakaian.
Rasional : Mendorong kehilangan panas melalui konduksi dan konveksi.
c) Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
Rasional : Mempercepat dalam penurunan produksi panas.
d) Berikan cairan oral.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya hidrasi yang akan menyebabkan
peningkatan suhu tubuh.
e) Lakukan pendinginan eksternal (mis,
kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila).
Rasional : Untuk membantu menurunkan suhu tubuh.
f) Hindari pemberian antipiretik atau
aspirin.
Rasional : Meningkatkan resiko perdarahan.
g) Berikan oksigen, jika perlu.
Rasional : Memberikan tambahan oksigen dan mengurangi perburukan keadaan.
Edukasi
a) Anjurkan tirah baring.
Rasional : Aktivitas yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh anak
dengan demam.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu.
Rasional : Untuk menggantikan kehilangan cairan.
3)
Nyeri
akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
Tujuan : Diharapkan nyeri yang dirasakan klien berkurang.
Kriteria Hasil :
a) Keluhan nyeri menurun.
b) Meringis menurun.
c) Gelisah menurun.
d) Pola napas membaik
Intervensi :
Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
Rasional : Mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan intervensi.
b) Identifikasi skala nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui berat nyeri yang dialami pasien.
c) Identifikasi respons nyeri nonverbal.
Rasional : Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/reaksi terhadap
nyeri.
d) Identifikasi factor yang memperberat
dan memperingan nyeri.
Rasional : Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka perawat dapat
melakukan intervensi yang sesuai dengan masalah klien.
Terapeutik
a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis, terapi musik, kompres hangat/dingin, terapi
bermain).
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan kontrol dan
meningkatkan harga diri dan kemampuan koping
b) Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis, suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan).
Rasional : Memberikan ketenangan kepada pasien sehingga nyeri tidak
bertambah.
c) Fasilitasi istirahat dan tidur.
Rasional : Dapat membantu meningkatkan istirahat dan tidur.
Edukasi
a) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan pasien.
b) Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri.
Rasional : Mengetahui perkembangan nyeri.
c) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan pasien.
Kolaborasi
a)
Kolaborasi
pemberian analgetik, jika perlu.
Rasional : Analgetik dapat mengurangi pengikatan mediator kimiawi nyeri
pada reseptor nyeri sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
4)
Defisit
nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keengganan untuk makan).
Tujuan : Anoreksia dan kebutuhan nutrisi dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
a) Porsi makanan yang dihabiskan
meningkat.
b) Frekuensi makan membaik.
c) Nafsu makan membaik
Intervensi :
Observasi
a) Identifikasi status nutrisi.
Rasional : Membantu mengkaji keadaan pasien.
b) Identifikasi alergi dan intoleransi
makanan.
Rasional : Menentukan makanan yang cocok untuk pasien.
c) Identifikasi makanan yang disukai.
Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam
perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
d) Monitor asupan makan.
Rasional : Mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi hingga dapat
ditetapkan intervensi selanjutnya.
e) Monitor berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien.
f) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium.
Rasional : Monitor status nutrisi.
Terapeutik
a) Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein.
Rasional : Makanan yang tinggi kalori dibutuhkan untuk sumber energi,
sedangkan makanan yang tinggi protein berfungsi untuk mengganti sel-sel tubuh
yang telah rusak.
b) Berikan suplemen makanan, jika perlu.
Rasional : Membantu memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
Edukasi
a) Anjurkan posisi duduk, jika mampu.
Rasional : Mencegah terjadinya refluks isi lambung.
b) Ajarkan diet yang diprogramkan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan asupan nutisi sesuai dengan kebutuhan.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (mis, Pereda nyeri, antimietik), jika perlu.
Rasional : Mengurangi perasaan tidak nyaman saat makan.
b) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.
Rasional : Diet sesuai dengan kebutuhan nutrisi pasien.
5) Hipovolemia berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas kapiler.
Tujuan : Gangguan volume cairan tubuh dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
a) Turgor kulit meningkat.
b) Output urine meningkat.
c) Tekanan darah dan nadi membaik.
d) Kadar Hb membaik.
Intervensi :
Observasi
a) Periksa tanda dan gejala hipovolemia
(mis, frekuensi nadi meningkat, nadi terasa lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume
urin menurun, hematokrit meningkat, haus lemah).
Rasional : Mengetahui adanya tanda-tanda dehidrasi dan mecegah syok
hipovolemik.
b) Monitor intake dan output cairan.
Rasional : Membantu dalam menganalisa keseimbangan cairan dan derajat
kekurangan cairan.
Terapeutik
a) Berikan asupan cairan oral.
Rasional : Mengganti kehilangan cairan.
Edukasi
a) Anjurkan memperbanyak asupan cairan
oral.
Rasional : Memenuhi dan mempertahankan kebutuhan cairan tubuh.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian cairan IV sesuai
program.
Rasional : Untuk memberikan hidrasi cairan tubuh secara parenteral.
b) Kolaborasi pemberian produk darah.
Rasional : Tubuh tidak kekurangan pasokan darah sehingga terjadi
penurunan trombosit.
6)
Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan : Aktivitas sehari-hari klien kembali normal.
Kriteria Hasil :
a) Frekuensi nadi meningkat.
b) Kemudahan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari meningkat.
c) Frekuensi napas membaik.
Intervensi :
Observasi
a) Monitor kelelahan fisik dan emosional.
Rasional : Untuk mengetahui status kelelahan klien dan tingkat emosi.
b) Monitor pola dan jam tidur.
Rasional : memantau pola tidur klien agar tidak terjadi kelelahan.
Terapeutik
a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
stimulus (mis, cahaya, suara, kunjungan).
Rasional : Meningkatkan kenyamanan istirahat serta dukungan
fisiologis/psikologis.
b) Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan.
Rasional : Meningkatkan kenyamanan klien saat melakukan aktivitas secara
bertahap.
Edukasi
a) Anjurkan tirah baring.
Rasional : Meningkatkan kenyamanan istirahat serta dukungan
fisiologis/psikologis.
b) Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, mencegah
terjadinya kontraktur.
c) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda
dan gejala kelelahan tidak berkurang.
Rasional : Segera mendapatkan intervensi lebih lanjut.
Kolaborasi
a) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.
Rasional : Mempercepat proses penyembuhan.
7) Defisit pengetahuan berhubungan dengan
kurang terpapar informasi.
Tujuan : Pengetahuan klien/keluarga bertambah.
Kriteria Hasil :
a) Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang
suatu topik meningkat.
b) Perilaku sesuai dengan pengetahuan
meningkat.
c) Persepsi yang keliru terhadap masalah
menurun
Intervensi :
Observasi
a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi.
Rasional : Memahami kemampuan pasien dalam menerima
informasi.
Edukasi
a) Jelaskan factor risiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan.
Rasional : Klien/keluarga mengetahui factor risiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan.
b) Ajarkan perilaku hidup bersih dan
sehat.
Rasional : Meningkatkan kualitas kesehatan dan mecegah timbulnya masalah
kesehatan.
c) Ajarkan strategi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Rasional : Memotivasi dalam meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
8)
Ansietas
berhubungan dengan krisis situasional.
Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
a) Verbalisasi khawatir akibat kondisi
yang dihadapi menurun.
b) Perilaku gelisah menurun.
c) Konsentrasi membaik
Intervensi :
Observasi
a) Monitor tanda-tanda ansietas (verbal
dan nonverbal).
Rasional : Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien
sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
Terapeutik
a) Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan.
Rasional : Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga
pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.
b) Dengarkan dengan penuh perhatian.
Rasional : Dapat meringankan beban pikiran pasien.
c) Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan.
Rasional : Menumbuhkan sikap/rasa saling percaya antar perawat-pasien.
Edukasi
a) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien.
Rasional : Klien dapat merasa masih ada orang yang memperhatikannya.
b) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
persepsi.
Rasional : Untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, kecemasan yang
dirasakan klien.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu.
Rasional : Mengurangi kecemasan.
9)
Risiko
perdarahan ditandai dengan koagulasi (trombositopenia).
Tujuan : Perdarahan tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
a) Kelembapan kulit meningkat.
b) Hemoglobin membaik.
c) Hematokrit membaik.
Intervensi :
Observasi
a). Monitor tanda dan gejala perdarahan.
Rasional : Agar tidak terjadi perdarahan.
b). Monitor nilai hamatokrit atau hemoglobin sebelum dan setelah
kehilangan darah.
Rasional : Untuk mengetahui nilai Hb dan Ht sesuai dengan nilai normal.
c). Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : Mengetahui keadaan umum pasien.
Terapeutik
a)
Pertahankan
bed rest selama perdarahan.
Rasional : Aktivitas yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan.
Edukasi
a)
Jelaskan
tanda dan gejala perdarahan.
Rasional : Klien mengetahui dan mampu mengidentifikasi tanda dan gejala
perdarahan secara mandiri.
b)
Anjurkan
meningkatkan asupan makanan dan vitamin K.
Rasional : Membantu proses pembekuan darah.
c)
Anjurkan
segera melapor jika terjadi perdarahan.
Rasional : Agar segera mendapatkan pertolongan oleh tenaga medis.
Kolaborasi
a)
Kolaborasi
pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu.
Rasional : Mencegah perburukan kondisi perdarahan.
b)
Kolaborasi
pemberian produk darah, jika perlu.
Rasional : Tubuh tidak kekurangan pasokan darah sehingga terjadi
penurunan trombosit.
10)
Risiko
syok ditandai dengan kekurangan volume cairan.
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik.
Kriteria Hasil :
a) Tingkat kesadaran meningkat.
b) Tekanan darah, frekuensi nadi dan
napas membaik.
Intervensi :
Observasi
a) Monitor status kardiopulmonal
(frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi napas, TD).
Rasional :
Mengetahui keadaan umum pasien.
b) Monitor status cairan (masukan dan
haluaran, turgor kulit, CRT).
Rasional : Untuk mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur
keseimbangan cairan.
c) Monitor tingkat kesadaran dan respon
pupil.
Rasional :
Mengetahui status kesadaran pasien.
Terapeutik
a) Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%.
Rasional : Untuk mencegah dan memperbaiki hipoksia jaringan.
Edukasi
a) Jelaskan penyebab atau faktor risiko
syok.
Rasional : Klien mengetahui penyebab atau faktor risiko terjadinya syok.
b) Anjurkan melapor jika menemukan atau
merasakan tanda dan gejala awal syok.
Rasional : Agar segera mendapatkan pertolongan oleh tenaga medis.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian IV, jika perlu.
Rasional : Untuk memberikan hidrasi cairan tubuh secara parenteral.
b) Kolaborasi pemberian transfusi darah,
jika perlu.
Rasional : Tubuh tidak kekurangan pasokan darah sehingga terjadi
penurunan trombosit.
4. Implementasi
Implementasi
adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi keperawatan. Implementasi
merupakan langkah keempat dari proses keperawatan yang telah direncanakan oleh
perawat untuk dikerjakan dalam rangka membantu klien untuk mencegah,
mengurangi, dan menghilangkan dampak atau respons yang ditimbulkan oleh masalah
keperawatan dan kesehatan (Ali & SKM, 2016).
5. Evaluasi
Evaluasi
adalah penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan seberapa jauh
keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses
menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari
pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan dan evaluasi (Ali & SKM, 2016).
Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah tindakan
keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi suatu
masalah.
Menurut Nursalam (2011), evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis
yaitu :
a.
Evaluasi
formatif. Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan
sampai dengan tujuan tercapai.
b.
Evaluasi
somatif , merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini menggunakan
SOAP.
Hasil evaluasi yang diharapkan dari pasien dengan DHF antara lain :
a. Mempertahankan pola pernafasan
normal/efektif.
b. Suhu tubuh agar tetap berada pada
rentang normal.
c. Diharapkan nyeri yang dirasakan klien
berkurang.
d. Anoreksia dan kebutuhan nutrisi dapat
teratasi.
e. Gangguan volume cairan tubuh dapat
teratasi.
f. Aktivitas sehari-hari klien kembali
normal.
g. Pengetahuan klien/keluarga bertambah.
h. Rasa cemas klien akan
berkurang/hilang.
i. Perdarahan tidak terjadi.
j. Tidak terjadi syok hipovolemik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H. Z., & SKM, M. M. (2016). Dasar -Dasar Dokumentasi
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Erdin. (2018). Pathway Dengue Hemorrhagic Fever. Jakarta.
Harmawan, D. (2017). Hubungan Karakteristik Klien Demam Berdarah
Dengue (DBD) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Wilayah Kerja
Puskesmas I Purwokerto Timur Kabupaten Banyumas (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto).
Murwani. (2018). Kasus Hipertermi pada DHF. 6-27.
Nurarif, A.H. & Kusuma, H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.
Nursalam. (2011). Manajemen Keperawatan Aplikasi dalan Praktek
Keperawatan Profesional edisi.3. Jakarta: Salemba Medika.
Pangaribuan, A., Prawirohartono, E. P., & Laksanawati, I. S. (2016). Faktor
Prognosis Kematian Sindrom Syok Dengue. Sari Pediatri, 15(5), 332-40.
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) : Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Rampengan T.H & Laurentz I.R. (2007). Penyakit Infeksi Tropik Pada
Anak. Jakarta: EGC.
Soedarmo, et al. (2008). Buku Ajar : Infeksi dan Pediatri Tropis,
edisi 2, Jakarta : IDAI.
Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever.
Jakarta: Sagung Seto.
Widyorini, P., Shafrin, K. A., Wahyuningsih, N. E., & Murwani, R.
(2017). Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Cases in Semarang City are Related to
Air Temperature, Humidity, and Rainfall. Advanced Science Letters, 23(4),
3283-3287.
Wijayaningsih, K. S. (2013). Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: CV.
Trans Info Media.
World Health Organization (WHO). (2011). Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. India: WHO
Press Regional South-East Asia.
OLEH
NI WAYAN SINTA APRILLIA
NIM : 209012608
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
TAHUN 2021
DENGUE HAEMORAGIC FEVER (DHF)
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
1.
Pengertian
Demam
dengue atau DF dan demam berdarah dengue atau DBD (dengue
hemorrhagic fever disingkat DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau
nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
ditesis hemoragik. Pada DHF terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokosentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue yang ditandai oleh renjatan atau syok (Nurarif
& Kusuma, 2015).
Dengue
Hemorrhagic Fever
(DHF) adalah penyakit yang menyerang anak dan orang dewasa yang disebabkan oleh
virus dengan manifestasi berupa demam akut, perdarahan, nyeri otot dan sendi. Dengue
adalah suatu infeksi Arbovirus (Artropod Born Virus) yang akut
ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti atau oleh Aedes Aebopictus
(Wijayaningsih, 2013).
Dengue
Hemorrhagic Fever
(DHF) menular melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. DHF merupakan
penyakit berbasis vektor yang menjadi penyebab kematian utama di banyak negara
tropis. Penyakit DHF bersifat endemis, sering menyerang masyarakat dalam
bentuk wabah dan disertai dengan angka kematian yang cukup tinggi, khususnya
pada mereka yang berusia dibawah 15 tahun (Harmawan, 2017).
2. Klasifikasi
Menurut
WHO, DHF dibagi dalam 4 derajat yaitu (Nurarif & Kusuma, 2015) :
a. Derajat I yaitu demam disertai gejala
klinik khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan dalam uji tourniquet
positif, trombositopenia, himokonsentrasi.
b. Derajat II yaitu seperti derajat I,
disertai dengan perdarahan spontan pada kulit atau perdarahan di tempat lain.
c. Derajat III yaitu ditemukannya
kegagalan sirkulasi, ditandai oleh nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun
(20 mmHg atau kurang) atau hipotensi disertai dengan sianosis disekitar mulut,
kulit dingin dan lembab dan anak tampak gelisah.
d.
Derajat
IV yaitu syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak teratur.
3.
Etiologi
Menurut Soedarto (2012), Demam Haemorrhagic Fever (DHF) disebabkan
oleh :
a. Virus Dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus
(Artropod Born Virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe
1,2,3 dan 4, keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan
dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis virus dengue
yang termasuk dalam gen flavirus ini berdiameter 40 nonometer dapat berkembang
biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel-sel
mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kiney) maupun sel-sel Arthropoda
misalnya sel aedes Albopictuus.
b.
Vektor.
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui
vektor yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes
polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan.
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe
jenis yang lainnya.
4.
Patofisiologi
Virus dengue
yang telah masuk ke tubuh penderita akan menimbulkan viremia. Hal tersebut akan
menimbulkan reaksi oleh pusat pengatur suhu di hipotalamus sehingga menyebabkan
(pelepasan zat bradikinin, serotinin, trombin, histamin) terjadinya:
peningkatan suhu. Selain itu viremia menyebabkan pelebaran pada dinding pembuluh
darah yang menyebabkan perpindahan cairan dan plasma dari intravascular ke
intersisiel yang menyebabkan hipovolemia. Trombositopenia dapat terjadi akibat
dari penurunan produksi trombosit sebagai reaksi dari antibodi melawan virus
(Murwani, 2018).
Pada pasien
dengan trombositopenia terdapat adanya perdarahan baik kulit seperti petekia
atau perdarahan mukosa di mulut. Hal ini mengakibatkan adanya kehilangan
kemampuan tubuh untuk melakukan mekanisme hemostatis secara normal. Hal
tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan jika tidak tertangani maka akan
menimbulkan syok. Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8
hari. Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Pertama-tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami
demam, sakit kepala, mual, nyeri otot pegal pegal di seluruh tubuh, ruam atau
bintik bintik merah pada kulit, hiperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin
terjadi pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati atau hepatomegali (Murwani,
2018).
Kemudian
virus bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus antibodi. Dalam
sirkulasi dan akan mengativasi sistem komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan
di lepas C3a dan C5a dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan
mediator kuat sebagai faktor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya pembesaran plasma ke ruang
ekstraseluler. Pembesaran plasma ke ruang eksta seluler mengakibatkan
kekurangan volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemia serta efusi dan renjatan atau syok. Hemokonsentrasi atau peningkatan
hematokrit >20% menunjukan atau menggambarkan adanya kebocoran atau
perembesan sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian
cairan intravena (Murwani, 2018).
Adanya
kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukan cairan
yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura, dan
perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui
infus. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit
menunjukan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena
harus di kurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadi edema paru dan
gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapat cairan yang cukup, penderita akan
mengalami kekurangan cairan yang akan mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan
bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan
timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera
diatasi dengan baik (Murwani, 2018).
5.
Manifestasi
Klinis
Manifestasi
klinis pada penderita DHF antara lain adalah (Nurarif & Kusuma 2015) :
a. Demam dengue
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau
lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
1)
Nyeri
kepala
2)
Nyeri
retro-orbital
3)
Myalgia
atau arthralgia
4)
Ruam
kulit
5)
Manifestasi
perdarahan seperti petekie atau uji bending positif
6)
Leukopenia
7)
Pemeriksaan
serologi dengue positif atau ditemukan DD/DBD yang sudah di konfirmasi pada
lokasi dan waktu yang sama
b. Demam berdarah dengue
Berdasarkan kriteria WHO (2011) diagnosis DHF ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi :
1)
Demam
atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bersifat bifastik
2)
Manifestasi
perdarahan yang berupa :
a) Uji tourniquet positif
b) Petekie, ekimosis, atau purpura
c) Perdarahan mukosa (epistaksis,
perdarahan gusi), saluran cerna, tempat bekas suntikan
d) Hematemesis atau melena
3)
Trombositopenia
<100.00/ul
4)
Kebocoran
plasma yang ditandai dengan :
a) Peningkatan nilai hematokrit > 20%
dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin
b) Penurunan nilai hematokrit > 20%
setelah pemberian cairan yang adekuat
5)
Tanda
kebocoran plasma seperti : hipoproteinemi, asites, efusi pleura
c.
Sindrom
syok dengue
Seluruh kriteria DHF diatas disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi
yaitu:
1)
Penurunan
kesadaran, gelisah
2)
Nadi
cepat, lemah
3)
Hipotensi
4)
Tekanan
darah turun < 20 mmHg
5)
Perfusi
perifer menurun
6)
Kulit
dingin lembab
6.
Pemeriksaan
Penunjang/ Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang mungkin dilakukan pada penderita DHF antara
lain adalah (Wijayaningsih, 2013) :
a.
Pemeriksaan
darah lengkap
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai
pada DHF merupakan indikator terjadinya perembesan plasma.
1)
Pada
demam dengue terdapat leukopenia pada hari kedua atau hari ketiga.
2)
Pada
demam berdarah terdapat trombositopenia dan hemokonsentrasi.
3)
Pada
pemeriksaan kimia darah: hipoproteinemia, hipokloremia, SGPT, SGOT, ureum dan pH
darah mungkin meningkat.
b.
Uji
Serologi = Uji HI (Hemaglutination Inhibition Test)
Uji serologi didasarkan atas timbulnya antibody pada penderita yang
terjadi setelah infeksi. Untuk menentukan kadar antibody atau antigen didasarkan
pada manifestasi reaksi antigen-antibody. Ada tiga kategori, yaitu primer,
sekunder, dan tersier. Reaksi primer merupakan reaksi tahap awal yang dapat
berlanjut menjadi reaksi sekunder atau tersier. Yang mana tidak dapat dilihat
dan berlangsung sangat cepat, visualisasi biasanya dilakukan dengan memberi
label antibody atau antigen dengan flouresens, radioaktif, atau enzimatik.
Reaksi sekunder merupakan lanjutan dari reaksi primer dengan manifestasi yang
dapat dilihat secara in vitro seperti prestipitasi, flokulasi, dan aglutinasi.
Reaksi tersier merupakan lanjutan reaksi sekunder dengan bentuk lain yang
bermanifestasi dengan gejala klinik.
c.
Uji
hambatan hemaglutinasi
Prinsip metode ini adalah mengukur campuran titer IgM dan IgG berdasarkan
pada kemampuan antibody-dengue yang dapat menghambat reaksi
hemaglutinasi darah angsa oleh virus dengue yang disebut reaksi
hemaglutinasi inhibitor (HI).
d.
Uji
netralisasi (Neutralisasi Test = NT test)
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Menggunakan metode plague reduction neutralization test (PRNT). Plaque
adalah daerah tempat virus menginfeksi sel dan batas yang jelas akan dilihat
terhadap sel di sekitar yang tidak terkena infeksi.
e.
Uji
ELISA anti dengue
Uji ini mempunyai sensitivitas sama dengan uji Hemaglutination
Inhibition (HI). Dan bahkan lebih sensitive dari pada uji HI. Prinsip dari
metode ini adalah mendeteksi adanya antibody IgM dan IgG di dalam serum
penderita.
f. Rontgen Thorax : pada foto thorax
(pada DHF grade III/ IV dan sebagian besar grade II) didapatkan efusi pleura.
7.
Penatalaksanaan
Medis
Dasar
pelaksanaan penderita DHF adalah pengganti cairan yang hilang sebagai akibat
dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas
sehingga mengakibatkan kebocoran plasma. Selain itu, perlu juga diberikan obat
penurun panas (Rampengan & Laurentz, 2007). Penatalaksanaan DHF yaitu :
a.
Penatalaksanaan
Demam Berdarah Dengue Tanpa Syok
Penatalaksanaan disesuaikan dengan gambaran klinis maupun fase, dan untuk
diagnosis DHF pada derajat I dan II menunjukkan bahwa anak mengalami DHF tanpa
syok sedangkan pada derajat III dan derajat IV maka anak mengalami DHF disertai
dengan syok. Tatalaksana untuk anak yang dirawat di rumah sakit meliputi:
1) Berikan anak banyak minum larutan
oralit atau jus buah, air sirup, susu untuk mengganti cairan yang hilang akibat
kebocoran plasma, demam, muntah, dan diare.
2) Berikan parasetamol bila demam,
jangan berikan asetosal atau ibuprofen karena dapat merangsang terjadinya
perdarahan.
3) Berikan infus sesuai dengan dehidrasi
sedang:
a)
Berikan
hanya larutan isotonik seperti ringer laktat atau asetat.
b)
Pantau
tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium (hematokrit,
trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam.
c)
Apabila
terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah cairan secara
bertahap sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya hanya memerlukan
waktu 24-48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler spontan setelah pemberian
cairan.
d)
Apabila
terjadi perburukan klinis maka berikan tatalaksana sesuai dengan tatalaksana
syok terkompensasi.
b.Penatalaksanaan Dengue Hemorrhagic
Fever Dengan Syok
Penatalaksanaan DHF menurut WHO (2011), meliputi:
1)
Perlakukan
sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secara nasal.
2)
Berikan
20 ml/kg larutan kristaloid seperti ringer laktat/asetan secepatnya.
3)
Jika
tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB
secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20 ml/kg
BB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
4)
Jika
tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi: berikan transfusi darah atau
komponen.
5)
Jika
terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai membaik,
tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10 ml/kgBB dalam 2-4 jam
dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis laboratorium.
6)
Dalam
banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36- 48 jam. Perlu
diingat banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu banyak
dari pada pemberian yang terlalu sedikit.
8.
Komplikasi
Komplikasi
yang terjadi pada anak yang mengalami demam berdarah dengue yaitu
perdarahan massif dan dengue shock syndrome (DSS) atau sindrom syok dengue
(SSD). Syok sering terjadi pada anak berusia kurang dari 10 tahun. Syok
ditandai dengan nadi yang lemah dan cepat sampai tidak teraba, tekanan nadi
menurun menjadi 20 mmHg atau sampai nol, tekanan darah menurun dibawah 80 mmHg
atau sampai nol, terjadi penurunan kesadaran, sianosis di sekitar mulut dan
kulit ujung jari, hidung, telinga, dan kaki teraba dingin dan lembab, pucat dan
oliguria atau anuria (Pangaribuan,
|
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
Dalam
melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal yang
penting dilakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit maupun selama
pasien dirawat di rumah sakit (Widyorini, dkk., 2017).
a.
Identitas
Pasien
Nama, umur (pada DHF paling sering menyerang anak-anak dengan usia kurang
dari 15 tahun), jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang tua, pendidikan
orang tua, dan pekerjaan orang tua.
b.
Keluhan
Utama
Alasan/keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang ke rumah sakit
adalah panas tinggi dan anak lemah.
c.
Riwayat
Penyakit Sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil dan saat
demam kesadaran composmentis. Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 sampai
ke-7, dan anak semakin lemah. Kadang-kadang disertai dengan keluhan batuk,
pilek, nyeri telan, mual, muntah, anoreksia, diare/konstipasi, sakit kepala,
nyeri otot dan persendian, nyeri ulu hati dan pergerakan bola mata terasa
pegal, serta adanya manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV), melena
atau hematesis.
d.
Riwayat
Penyakit Dahulu
Penyakit apa saja yang pernah diderita pada DHF, anak bisa mengalami
serangan ulangan DHF dengan tipe virus yang lain.
e.
Riwayat
Penyakit Keluarga
Penyakit apa saja yang pernah diderita sama keluarga klien
f.
Riwayat
Imunisasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan akan
timbulnya komplikasi dapat dihindari.
g.
Riwayat
Gizi
Status gizi anak menderita DHF dapat bervariasi. Semua anak dengan status
gizi baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat faktor predisposisinya.
Anak yang menderita DHF sering mengalami keluhan mual, muntah, dan nafsu makan
menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhan
nutrisi yang mencukupi, maka anak akan mengalami penurunan berat badan sehingga
status gizinya menjadi kurang.
h.
Kondisi
Lingkungan
Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang
kurang bersih (seperti air yang mengenang dan gantungan baju di kamar).
i.
Pengkajian
Pola Gordon
1)
Pola
persepsi dan manajemen kesehatan
Klien biasanya tidak mengetahui penyakitnya, klien hanya beranggapan
bahwa gejala yang dideritanya merupakan gejala biasa saja dan hanya kelelahan
biasa. Klien mulanya hanya beristirahat, mengurangi aktifitas dan mengkonsumsi
obat bebas yang ada duwarung.
2)
Pola
nutrisi metabolic
Terjadinya ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan ditandai
dengan timbul gejala mual, muntah, dyspnea, anoreksia dan penurunan berat badan
3)
Pola
eliminasi
Pada pola ini biasanya bisa terjadi retrensi urine
4)
Pola
aktivitas dan latihan
Klien biasanya mengalami kelemahan, keletihan sehingga menyebabkan
terganggunya aktivitas klien, terjadi penurunan semangat untuk bekerja serta
toleransi untuk latihan rendah
5)
Pola
istirahat dan tidur
Klien biasanya akan mengalami gangguan tidur karena biasanya mual muntah
6)
Pola
kognitif perseptual
Pengkajian yang dilakukan yaitu sehubungan dengan fungsi alat indera
klien, karenan terjadi penurunan fungsi penglihatan dan neuropati
7)
Pola
persepsi diri dan konsep diri
Persepsi klien terhadap dirinya bisa berubah sehubungan dengan penyakit
dengan penyakit yang diderita. Klien merasa lemah karena tidak bisa bekerja dan
beraktifitas seperti orang lain.
8)
Pola
peran hubungan
Pada pola ini dikaji pekerjaan klien, peran klien dalam keluarga dan
masyarakat. Selain itu berisikan bagaimanahubungan klien dengan orang
terdekatnya, bagaimana pengambilan keputusan dan hubungan klien dengan
masyarakat atau lingkungan social klien.
9)
Pola
reproduksi seksualita
Pada reproduksi seksual bisa terjadi perubahan aliran menstruasi,
misalnya menoragia atau amenore, hilang libido dan impoten. Servik dan dinding
vagina pusat.
10) Pola koping dan toleransi stress
Metode koping yang digunakan klien dalam mengatasi stress bisa saja
dengan mengungkapkan perasaan gelisahnya kepada orang terdekat atau perawat
atau meminum obat yang bisa menghilangkan stress.
11) Pola nilai dan kayakinan
Setelah mengkaji didapatkan kepercayaan klien, kepatuhan klien dalam
melaksanakan ibadah, dan keyakinan-keyakinan pribadi yang bisa mempengaruhi
pilihan pengobatan.
j.
Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan fisik Meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi
dari ujung rambut sampai jung kaki. Pemeriksaan fisik secara umum:
1) Grade I : kesadaran composmentis,
keadaan umum lemah, tanda-tanda vital dan nadi lemah.
Grade II : kesadaran composmentis, keadaan umum lemah, ada perdarahan
spontan petekia, perdarahan gusi dan telinga, serta nadi lemah, kecil, dan
tidak teratur.
Grade III : Kesadaran apatis, somnolen, keadaan umum lemah, nadi lemah,
kecil dan tidak teratur, serta tensi menurun.
Grade IV : Kesadaran koma, tanda-tanda vital nadi tidak teraba, tensi
tidak terukur, pernapasan tidak teratur, ekstremitas dingin, berkeringat, dan
kulit.
2) Tanda-tanda vital (TTV) : tekanan
nadi lemah dan kecil (grade III), nadi tidak teraba (grade IV), tekanan darah
menurun (sistolik menurun sampai 80mmHg atau kurang), suhu tinggi (diatas 37,5oC).
3)
Kepala
: kepala bersih, ada pembengkakan atau tidak, Kepala terasa nyeri, muka tampak
kemerahan karena demam.
4)
Mata
: konjungtiva anemis.
5)
Hidung
: hidung kadang mengalami perdarahan (epistaksis) pada grade II, III, IV.
6)
Telinga
: tidak ada perdarahan pada telinga, simetris, bersih tidak ada serumen, tidak
ada gangguan pendengaran.
7)
Mulut
: pada mulut didapatkan bahwa mukosa mulut kering, terjadi perdarahan gusi, dan
nyeri telan. Sementara tenggorokkan hyperemia pharing.
8)
Leher
: kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid tidak mengalami pembesaran.
9)
Dada
/ thorak
Inspeksi : Bentuk simetris, kadang-kadang tampak
sesak.
Palpasi : Biasanya fremitus kiri dan kanan tidak
sama.
Perkusi : Bunyi redup
karena terdapat adanya cairan yang tertimbun pada paru.
Auskultasi : Adanya bunyi
ronchi yang biasanya terdapat pada grade III, dan IV.
10) Abdomen
Inspeksi :
Abdomen tampak simetris dan adanya asites.
Auskultasi :
Adanya penurunan bising usus.
Palpasi :
Mengalami nyeri tekan, pembesaran hati (hepatomegali).
Perkusi : Terdengar redup.
11) Sistem Integument
Adanya petekia pada kulit spontan dan dengan melakukan uji tourniquet.
Turgor kuit menurun, dan muncul keringat dingin, dan lembab. Pemeriksaan uji
tourniket dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah anak.
Selanjutnya diberikan 24 tekanan antara sistolik dan diastolic pada alat ukur
yang dipasang pada tangan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, perhatikan
timbulnya petekie di bagian volarlenga bawah (Soedarmo, et al., 2008).
12)
Genitalia
: biasanya tidak ada masalah.
13)
Ekstremitas
: akral dingin, serta terjadi nyeri otot, sendi serta tulang. Pada kuku
sianosis/tidak.
14)
Pemeriksaan
Laboratorium
Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai :
a) Hb dan PCV meningkat (> dari 20
%).
b) Trobositopenia (< dari
100.000/ml).
c) Leucopenia (mungkin normal atau
lekositosis).
d) Ig. D dengue positif.
e) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan :
hipoproteinemia, hipokloremia, dan hiponatremia.
f) Urium dan pH darah mungkin meningkat.
g) Asidosis metabolik : pCO2< 35 – 40
mmHg dan HCO3 rendah.
h) SGOT / SGPT mungkin meningkat.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik berlangsung aktual
maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons
klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan. Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada kasus DHF yaitu (Erdin,
2018) (SDKI DPP PPNI, 2017) :
a. Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan hambatan upaya napas.
b. Hipertermia berhubungan dengan proses
penyakit ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai normal.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen
pencedera fisiologis ditandai dengan pasien mengeluh nyeri.
d. Defisit nutrisi berhubungan dengan
faktor psikologis (keengganan untuk makan).
e. Hipovolemia berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas kapiler ditandai dengan kebocoran plasma darah.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan.
g. Defisit pengetahuan berhubungan
dengan kurang terpapar informasi.
h. Ansietas berhubungan dengan krisis
situasional.
i.
Risiko
perdarahan ditandai dengan koagulasi (trombositopenia).
j.
Risiko
syok ditandai dengan kekurangan volume cairan.
3. Perencanaan
a. Prioritas Masalah
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan
hambatan upaya napas.
2) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai normal.
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisiologis ditandai dengan pasien
mengeluh nyeri.
4) Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor
psikologis (keengganan untuk makan).
5) Hipovolemia berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler ditandai dengan kebocoran plasma darah.
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan.
7) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang
terpapar informasi.
8) Ansietas berhubungan dengan krisis
situasional.
9) Risiko perdarahan ditandai dengan koagulasi
(trombositopenia).
10) Risiko syok ditandai dengan
kekurangan volume cairan.
b. Rencana Perawatan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
luaran (outcome) yang diharapkan (SIKI DPP PPNI, 2018) (SLKI DPP PPNI, 2019).
1) Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan hambatan upaya napas
Tujuan : Mempertahankan pola
pernafasan normal/efektif.
Kriteria Hasil :
a) Kapasitas vital meningkat.
b) Dispneu menurun.
c) Frekuensi napas membaik.
Intervensi :
Observasi
a) Monitor pola napas (frekuensi, usaha
napas).
Rasional : Mengetahui tanda dan gejala awal pola nafas tidak efektif
b) Monitor bunyi napas tambahan (mis,
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi basah).
Rasional : Mengetahui adanya sumbatan pada jalan nafas dan perkembangan
status kesehatan pasien
c) Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma).
Rasional : Mengetahui produksi sputum yang dihasilkan dan untuk
menegakkan diagnose.
Terapeutik
a)
Posisikan
semi fowler atau fowler.
Rasional : Memberikan posisi yang nyaman untuk pasien, mengurangi sesak
nafas.
b)
Berikan
minum hangat.
Rasional : Membantu mengencerkan produksi sputum.
c)
Berikan
oksigen, jika perlu.
Rasional : Memberikan tambahan oksigen dan mengurangi perburukan keadaan.
Edukasi
a) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
Rasional : Mencukupi jumlah kebutuhan cairan klien untuk mencegah
dehidrasi
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
Rasional : . Mengencerkan sputum sehingga melancarkan saluran pernafasan.
2)
Hipertermia
berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Suhu tubuh agar tetap berada pada rentang normal Kriteria Hasil
:
a) Menggigil menurun.
b) Kulit merah menurun.
c) Suhu tubuh membaik.
d) Tekanan darah membaik.
Intervensi :
Observasi
a) Identifikasi penyebab hipertermia
(mis. dehidrasi, terpapar lingkungan panas, penggunaan incubator).
Rasional : Untuk mengetahui penyebab hipertermi.
b) Monitor suhu tubuh.
Rasional : Untuk memantau keadaan suhu tubuh pasien.
c) Monitor kadar elektrolit.
Rasional : Elektrolit sebagai indikator keadaan status cairan dalam
tubuh.
d) Monitor haluaran urine.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan dan tingkatan dehidrasi.
Terapeutik
a) Sediakan lingkungan yang dingin.
Rasional : Irigasi pendingin dan pemajanan permukaan kulit ke udara mungkin
dibutuhkan untuk menurunkan suhu.
b) Longgarkan atau lepaskan pakaian.
Rasional : Mendorong kehilangan panas melalui konduksi dan konveksi.
c) Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
Rasional : Mempercepat dalam penurunan produksi panas.
d) Berikan cairan oral.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya hidrasi yang akan menyebabkan
peningkatan suhu tubuh.
e) Lakukan pendinginan eksternal (mis,
kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila).
Rasional : Untuk membantu menurunkan suhu tubuh.
f) Hindari pemberian antipiretik atau
aspirin.
Rasional : Meningkatkan resiko perdarahan.
g) Berikan oksigen, jika perlu.
Rasional : Memberikan tambahan oksigen dan mengurangi perburukan keadaan.
Edukasi
a) Anjurkan tirah baring.
Rasional : Aktivitas yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh anak
dengan demam.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu.
Rasional : Untuk menggantikan kehilangan cairan.
3)
Nyeri
akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
Tujuan : Diharapkan nyeri yang dirasakan klien berkurang.
Kriteria Hasil :
a) Keluhan nyeri menurun.
b) Meringis menurun.
c) Gelisah menurun.
d) Pola napas membaik
Intervensi :
Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
Rasional : Mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan intervensi.
b) Identifikasi skala nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui berat nyeri yang dialami pasien.
c) Identifikasi respons nyeri nonverbal.
Rasional : Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/reaksi terhadap
nyeri.
d) Identifikasi factor yang memperberat
dan memperingan nyeri.
Rasional : Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka perawat dapat
melakukan intervensi yang sesuai dengan masalah klien.
Terapeutik
a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis, terapi musik, kompres hangat/dingin, terapi
bermain).
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan kontrol dan
meningkatkan harga diri dan kemampuan koping
b) Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis, suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan).
Rasional : Memberikan ketenangan kepada pasien sehingga nyeri tidak
bertambah.
c) Fasilitasi istirahat dan tidur.
Rasional : Dapat membantu meningkatkan istirahat dan tidur.
Edukasi
a) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan pasien.
b) Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri.
Rasional : Mengetahui perkembangan nyeri.
c) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan pasien.
Kolaborasi
a)
Kolaborasi
pemberian analgetik, jika perlu.
Rasional : Analgetik dapat mengurangi pengikatan mediator kimiawi nyeri
pada reseptor nyeri sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
4)
Defisit
nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keengganan untuk makan).
Tujuan : Anoreksia dan kebutuhan nutrisi dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
a) Porsi makanan yang dihabiskan
meningkat.
b) Frekuensi makan membaik.
c) Nafsu makan membaik
Intervensi :
Observasi
a) Identifikasi status nutrisi.
Rasional : Membantu mengkaji keadaan pasien.
b) Identifikasi alergi dan intoleransi
makanan.
Rasional : Menentukan makanan yang cocok untuk pasien.
c) Identifikasi makanan yang disukai.
Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam
perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
d) Monitor asupan makan.
Rasional : Mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi hingga dapat
ditetapkan intervensi selanjutnya.
e) Monitor berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien.
f) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium.
Rasional : Monitor status nutrisi.
Terapeutik
a) Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein.
Rasional : Makanan yang tinggi kalori dibutuhkan untuk sumber energi,
sedangkan makanan yang tinggi protein berfungsi untuk mengganti sel-sel tubuh
yang telah rusak.
b) Berikan suplemen makanan, jika perlu.
Rasional : Membantu memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
Edukasi
a) Anjurkan posisi duduk, jika mampu.
Rasional : Mencegah terjadinya refluks isi lambung.
b) Ajarkan diet yang diprogramkan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan asupan nutisi sesuai dengan kebutuhan.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan (mis, Pereda nyeri, antimietik), jika perlu.
Rasional : Mengurangi perasaan tidak nyaman saat makan.
b) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.
Rasional : Diet sesuai dengan kebutuhan nutrisi pasien.
5) Hipovolemia berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas kapiler.
Tujuan : Gangguan volume cairan tubuh dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
a) Turgor kulit meningkat.
b) Output urine meningkat.
c) Tekanan darah dan nadi membaik.
d) Kadar Hb membaik.
Intervensi :
Observasi
a) Periksa tanda dan gejala hipovolemia
(mis, frekuensi nadi meningkat, nadi terasa lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume
urin menurun, hematokrit meningkat, haus lemah).
Rasional : Mengetahui adanya tanda-tanda dehidrasi dan mecegah syok
hipovolemik.
b) Monitor intake dan output cairan.
Rasional : Membantu dalam menganalisa keseimbangan cairan dan derajat
kekurangan cairan.
Terapeutik
a) Berikan asupan cairan oral.
Rasional : Mengganti kehilangan cairan.
Edukasi
a) Anjurkan memperbanyak asupan cairan
oral.
Rasional : Memenuhi dan mempertahankan kebutuhan cairan tubuh.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian cairan IV sesuai
program.
Rasional : Untuk memberikan hidrasi cairan tubuh secara parenteral.
b) Kolaborasi pemberian produk darah.
Rasional : Tubuh tidak kekurangan pasokan darah sehingga terjadi
penurunan trombosit.
6)
Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan : Aktivitas sehari-hari klien kembali normal.
Kriteria Hasil :
a) Frekuensi nadi meningkat.
b) Kemudahan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari meningkat.
c) Frekuensi napas membaik.
Intervensi :
Observasi
a) Monitor kelelahan fisik dan emosional.
Rasional : Untuk mengetahui status kelelahan klien dan tingkat emosi.
b) Monitor pola dan jam tidur.
Rasional : memantau pola tidur klien agar tidak terjadi kelelahan.
Terapeutik
a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
stimulus (mis, cahaya, suara, kunjungan).
Rasional : Meningkatkan kenyamanan istirahat serta dukungan
fisiologis/psikologis.
b) Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan.
Rasional : Meningkatkan kenyamanan klien saat melakukan aktivitas secara
bertahap.
Edukasi
a) Anjurkan tirah baring.
Rasional : Meningkatkan kenyamanan istirahat serta dukungan
fisiologis/psikologis.
b) Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, mencegah
terjadinya kontraktur.
c) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda
dan gejala kelelahan tidak berkurang.
Rasional : Segera mendapatkan intervensi lebih lanjut.
Kolaborasi
a) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan.
Rasional : Mempercepat proses penyembuhan.
7) Defisit pengetahuan berhubungan dengan
kurang terpapar informasi.
Tujuan : Pengetahuan klien/keluarga bertambah.
Kriteria Hasil :
a) Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang
suatu topik meningkat.
b) Perilaku sesuai dengan pengetahuan
meningkat.
c) Persepsi yang keliru terhadap masalah
menurun
Intervensi :
Observasi
a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi.
Rasional : Memahami kemampuan pasien dalam menerima
informasi.
Edukasi
a) Jelaskan factor risiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan.
Rasional : Klien/keluarga mengetahui factor risiko yang dapat
mempengaruhi kesehatan.
b) Ajarkan perilaku hidup bersih dan
sehat.
Rasional : Meningkatkan kualitas kesehatan dan mecegah timbulnya masalah
kesehatan.
c) Ajarkan strategi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Rasional : Memotivasi dalam meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
8)
Ansietas
berhubungan dengan krisis situasional.
Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
a) Verbalisasi khawatir akibat kondisi
yang dihadapi menurun.
b) Perilaku gelisah menurun.
c) Konsentrasi membaik
Intervensi :
Observasi
a) Monitor tanda-tanda ansietas (verbal
dan nonverbal).
Rasional : Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien
sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
Terapeutik
a) Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan.
Rasional : Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga
pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.
b) Dengarkan dengan penuh perhatian.
Rasional : Dapat meringankan beban pikiran pasien.
c) Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan.
Rasional : Menumbuhkan sikap/rasa saling percaya antar perawat-pasien.
Edukasi
a) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien.
Rasional : Klien dapat merasa masih ada orang yang memperhatikannya.
b) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
persepsi.
Rasional : Untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, kecemasan yang
dirasakan klien.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu.
Rasional : Mengurangi kecemasan.
9)
Risiko
perdarahan ditandai dengan koagulasi (trombositopenia).
Tujuan : Perdarahan tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
a) Kelembapan kulit meningkat.
b) Hemoglobin membaik.
c) Hematokrit membaik.
Intervensi :
Observasi
a). Monitor tanda dan gejala perdarahan.
Rasional : Agar tidak terjadi perdarahan.
b). Monitor nilai hamatokrit atau hemoglobin sebelum dan setelah
kehilangan darah.
Rasional : Untuk mengetahui nilai Hb dan Ht sesuai dengan nilai normal.
c). Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : Mengetahui keadaan umum pasien.
Terapeutik
a)
Pertahankan
bed rest selama perdarahan.
Rasional : Aktivitas yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan.
Edukasi
a)
Jelaskan
tanda dan gejala perdarahan.
Rasional : Klien mengetahui dan mampu mengidentifikasi tanda dan gejala
perdarahan secara mandiri.
b)
Anjurkan
meningkatkan asupan makanan dan vitamin K.
Rasional : Membantu proses pembekuan darah.
c)
Anjurkan
segera melapor jika terjadi perdarahan.
Rasional : Agar segera mendapatkan pertolongan oleh tenaga medis.
Kolaborasi
a)
Kolaborasi
pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu.
Rasional : Mencegah perburukan kondisi perdarahan.
b)
Kolaborasi
pemberian produk darah, jika perlu.
Rasional : Tubuh tidak kekurangan pasokan darah sehingga terjadi
penurunan trombosit.
10)
Risiko
syok ditandai dengan kekurangan volume cairan.
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik.
Kriteria Hasil :
a) Tingkat kesadaran meningkat.
b) Tekanan darah, frekuensi nadi dan
napas membaik.
Intervensi :
Observasi
a) Monitor status kardiopulmonal
(frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi napas, TD).
Rasional :
Mengetahui keadaan umum pasien.
b) Monitor status cairan (masukan dan
haluaran, turgor kulit, CRT).
Rasional : Untuk mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur
keseimbangan cairan.
c) Monitor tingkat kesadaran dan respon
pupil.
Rasional :
Mengetahui status kesadaran pasien.
Terapeutik
a) Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%.
Rasional : Untuk mencegah dan memperbaiki hipoksia jaringan.
Edukasi
a) Jelaskan penyebab atau faktor risiko
syok.
Rasional : Klien mengetahui penyebab atau faktor risiko terjadinya syok.
b) Anjurkan melapor jika menemukan atau
merasakan tanda dan gejala awal syok.
Rasional : Agar segera mendapatkan pertolongan oleh tenaga medis.
Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian IV, jika perlu.
Rasional : Untuk memberikan hidrasi cairan tubuh secara parenteral.
b) Kolaborasi pemberian transfusi darah,
jika perlu.
Rasional : Tubuh tidak kekurangan pasokan darah sehingga terjadi
penurunan trombosit.
4. Implementasi
Implementasi
adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi keperawatan. Implementasi
merupakan langkah keempat dari proses keperawatan yang telah direncanakan oleh
perawat untuk dikerjakan dalam rangka membantu klien untuk mencegah,
mengurangi, dan menghilangkan dampak atau respons yang ditimbulkan oleh masalah
keperawatan dan kesehatan (Ali & SKM, 2016).
5. Evaluasi
Evaluasi
adalah penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan seberapa jauh
keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses
menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari
pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan dan evaluasi (Ali & SKM, 2016).
Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah tindakan
keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi suatu
masalah.
Menurut Nursalam (2011), evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis
yaitu :
a.
Evaluasi
formatif. Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan
sampai dengan tujuan tercapai.
b.
Evaluasi
somatif , merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini menggunakan
SOAP.
Hasil evaluasi yang diharapkan dari pasien dengan DHF antara lain :
a. Mempertahankan pola pernafasan
normal/efektif.
b. Suhu tubuh agar tetap berada pada
rentang normal.
c. Diharapkan nyeri yang dirasakan klien
berkurang.
d. Anoreksia dan kebutuhan nutrisi dapat
teratasi.
e. Gangguan volume cairan tubuh dapat
teratasi.
f. Aktivitas sehari-hari klien kembali
normal.
g. Pengetahuan klien/keluarga bertambah.
h. Rasa cemas klien akan
berkurang/hilang.
i. Perdarahan tidak terjadi.
j. Tidak terjadi syok hipovolemik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H. Z., & SKM, M. M. (2016). Dasar -Dasar Dokumentasi
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Erdin. (2018). Pathway Dengue Hemorrhagic Fever. Jakarta.
Harmawan, D. (2017). Hubungan Karakteristik Klien Demam Berdarah
Dengue (DBD) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Wilayah Kerja
Puskesmas I Purwokerto Timur Kabupaten Banyumas (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto).
Murwani. (2018). Kasus Hipertermi pada DHF. 6-27.
Nurarif, A.H. & Kusuma, H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.
Nursalam. (2011). Manajemen Keperawatan Aplikasi dalan Praktek
Keperawatan Profesional edisi.3. Jakarta: Salemba Medika.
Pangaribuan, A., Prawirohartono, E. P., & Laksanawati, I. S. (2016). Faktor
Prognosis Kematian Sindrom Syok Dengue. Sari Pediatri, 15(5), 332-40.
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) : Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Rampengan T.H & Laurentz I.R. (2007). Penyakit Infeksi Tropik Pada
Anak. Jakarta: EGC.
Soedarmo, et al. (2008). Buku Ajar : Infeksi dan Pediatri Tropis,
edisi 2, Jakarta : IDAI.
Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever.
Jakarta: Sagung Seto.
Widyorini, P., Shafrin, K. A., Wahyuningsih, N. E., & Murwani, R.
(2017). Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Cases in Semarang City are Related to
Air Temperature, Humidity, and Rainfall. Advanced Science Letters, 23(4),
3283-3287.
Wijayaningsih, K. S. (2013). Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: CV.
Trans Info Media.
World Health Organization (WHO). (2011). Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. India: WHO
Press Regional South-East Asia.